MAAF – Padusi

MAAF – Padusi


Oleh Emilia Jakob & Eileen Rachman

“Melakukan kesalahan adalah hal yang manusiawi,” begitu kata pepatah. Sepanjang hidup, kita tentu tak luput dari kesalahan—besar atau kecil, disengaja maupun tidak. Dalam berbagai ajaran moral, kita diajarkan untuk tidak cepat menghakimi, karena setiap individu punya kekurangan.

Sejak kecil, kita juga dibimbing untuk berani meminta maaf dan memaafkan, sebagai bagian dari proses menjadi manusia yang lebih baik.

Permintaan Maaf yang Klise

Saat ini, permintaan maaf seakan menjadi SOP standar begitu ada perilaku tidak pantas terungkap ke publik—dari kasus narkoba, penyebaran berita bohong, hingga kekerasan. Netizen pun skeptis, “Ah, paling nanti juga minta maaf karena khilaf, beres.”

Banyak permintaan maaf terasa sekadar formalitas, bukan refleksi penyesalan. Seperti seorang karyawan yang selalu datang terlambat ke rapat, lalu berkata, “Maaf ya, macet,” atau “Sorry, ada urusan tadi.” Tapi kebiasaan itu tak pernah berubah. Rekan-rekannya pun tahu, maafnya hanya basa-basi.

Seberapa sering kita meminta maaf hanya untuk meredam kemarahan atau menjaga hubungan, tanpa niat sungguh-sungguh untuk berubah? Apakah permintaan maaf itu benar-benar bermanfaat bagi orang lain atau sekadar untuk menenangkan hati kita sendiri?

Bahkan ada yang mengalami sorry syndrome—sedikit-sedikit minta maaf, bahkan untuk hal yang bukan tanggung jawabnya, demi menghindari konflik atau sekadar ingin diterima.

Ketulusan dalam Meminta Maaf

Sejak kecil, kita belajar meminta maaf. Tapi, apakah kita diajarkan untuk benar-benar memahami kesalahan, bertanggung jawab, dan memperbaiki diri? Atau sekadar mengucapkan “maaf” untuk menyudahi masalah?

Meminta maaf yang tulus tidak mudah. Ada ego yang harus diredam, kekhawatiran terlihat lemah, atau ketakutan akan dimanfaatkan. Padahal, bertanggung jawab atas kesalahan justru mencerminkan kedewasaan.

Namun, tidak semua permintaan maaf otomatis memperbaiki hubungan. Ungkapan seperti, “Saya minta maaf kalau Anda merasa tersinggung,” justru menggeser tanggung jawab ke pihak lain, seolah masalahnya ada pada perasaan mereka, bukan tindakan kita.



Finance

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *